Saturday, 24 December 2011

Yogyakarta yang Meng-India:Mengenal Peradaban India dan Menggali Nilai-nilai Kearifan


“Peradaban suatu bangsa dibangun atas dasar ide,cita-cita, dan pemikiran mulia untuk berkomunikasi satu dengan yang lainnya, membangun martabat manusia yang memanusiakan”
 –Hastangka --


Ketika pertama kali saya mengunjungi pameran Biennale Jogja XI 2011 saya merasakan memasuki suatu ruang peradaban kebudayaan lain daripada yang lain. Kebudayaan yang selama ini tidak pernah saya kenal tetapi dapat saya rasakan dari atmosfer dan sentuhan visual baik berupa gambar, lukisan, patung, foto, dan berbagai aksesoris lainnya. Kebudayaan India yang jarang saya dengar dan saya lihat sehari-hari. Sempat terlintas dibenak saya ketika saya memasuki ruang pameran yang berada di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) 12 Desember 2011, pukul 13.00 siang hari, begitu kuatnya hawa dunia baru, dunia yang begitu menyentuh keindahan spiritualitas yaitu peradaban India yang tercermin dari kehidupan sosial dan budayanya. Begitu juga ketika saya mengunjungi Jogja National Museum, di situ Kebudayaan India semakin kuat terasa. Lalu, terlintas di benak saya apakah ini yang disebut sebagai identitas suatu bangsa, atau Nation Character Building, yang sering disuarakan oleh para pendiri bangsa kita beberapa tahun silam.  Peradaban India yang tidak pernah lekang oleh waktu dan zaman,akan selalu ada diantara ketiadaan dan ketidakpedulian manusia. Inilah budaya yang mencoba untuk membangun dialetika kebudayaan dengan Indonesia yang penuh dengan nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitasnya. Misalnya, beberapa parallel events Biennale yang saya kunjungi masih lebih kuat identitas ke-India-annya daripada ke-Indonesia-annya. Peradaban India adalah peradaban yang kuno dan terbentuk melalui proses yang panjang. Dinamika berkesenian di India selalu menyajikan aspek spiritualitas dan religiusitas yang kental. Oleh karena itu, ketika sudah mendengar nama India apa yang ada dibenak orang adalah mega bollywood,tari India, nyanyian India, dan film India. Kebudayaan semakin menunjukkan identitasnya bahkan menjadi trend global karena kekuatan dari daya kreatifitas, kesungguhan, dan masuk dalam dunia media perfiliman. Bercerita tentang India ada dua hal yang tidak pernah lepas dari pembicaraan yaitu film dan spiritualitas.

            Tampaknya peradaban India telah berhasil “mengepung” identitas dan budaya ke-Indonesia-an, meskipun tema yang diusung adalah “Biennale EQUATOR Shadow lines: Indonesia Meets India”, tidak tampak aspek identitas dan jati diri kebudayaan Indonesia yang beragam dan berdialektika dengan kebudayaan India, malah justru “hegemoni” kebudayaan India membawa nilai-nilai baru yang melokal sekaligus mengglobal di negeri Indonesia. Nah, disinilah saya merasakan dan mengalami dialetika batin bahwa identitas kebudayaan adalah penting untuk menunjukkan jati diri suatu bangsa, dari bangsa mana kita berasal salah satunya dapat diketahui dari budayanya. Sama halnya dengan India. Di Biennale ini apa yang ditonjolkan adalah INDIA memang adalah INDIA. Corak, bentuk, dan karakter kebudayaan India lebih dominan dalam event Biennale ini. Itulah kehebatan bangsa India yang berani mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal dan tradisi sampai ke ujung bumi dan garis khatulistiwa sekalipun, India akan tetap menampakkan jati dirinya sebagaimana India adanya.

Biennale dulu, kini dan yang akan datang

Apabila dibandingkan dengan pengalaman tahun lalu terkait acara Biennale, saya mengalami ada perbedaan yang jauh terutama terkait substansi dan kegiatan yang diselenggarakan, tahun lalu nampak lebih meriah dan beragam baik dari bentuk acara, kegiatan, bahkan suguhan seni lebih menunjukkan kota Yogyakarta seperti living museum (museum yang hidup), dimana-mana ada suguhan seni yang melokal. Sedangkan sekarang lebih banyak pada indoor activities, dalam artian bahwa suguhan yang ditawarkan lebih pada events yang ada di dalam ruangan, di dalam gedung kesenian, museum, ataupun tempat-tempat pertunjukkan lainnya. Selain itu, Biennale sekarang ini lebih menonjolkan nuansa budaya India dan spiritualitas dibandingkan dengan nuansa etnisitas dan lokalitas ke-Indonesia-an. Konsep Indonesia meets India belum begitu menonjol dan terlihat baik dalam berbagai events utama maupun events parallel. Malah justru, parallel events berjalan dengan sendiri-sendiri tanpa mempertimbangkan aspek filosofis, budaya, dan ide dasar Biennale tersebut.  Dalam bahasa sederhana apa yang saya rasakan, lihat dan alami adalah persoalan identitas berkesenian dan berekpresi tentang seni. Seni itu memang indah dan seni juga memberikan ruang berekpresi secara bebas. Namun demikian, seni harus memiliki tujuan dan cita-cita kebangsaan, seni harus membawa martabat bangsa ketika sudah menyangkut kebudayaan antar dua bangsa.  Menatap masa depan seni ke-Indonesia-an kontemporer dan keberagaman bukan berarti meninjau tentang seberapa besar kontribusi para seniman terhadap hasil karya seni tetapi juga mempertimbangkan bagaimana para seniman mengekspresikan seninya dalam bingkai nasionalisme dan kebangsaan. Harmonisasi seni tercemin dari bagaimana seni dapat menampilkan keindahan dan identitas kebangsaan. Lalu kita merenung bagaimana dengan bangsa kita?,dimana jati diri kita sebagai bangsa?,akankah kebudayaan kita akan tergerus oleh waktu dan zaman? 

                                                         Kounter Koran bernuansa India